PENDIDIKAN - Di sebuah negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan, ada sebuah ironi yang bersembunyi di balik gemuruh pidato dan janji. Namanya Guru Honorer. Sosok ini bukan tokoh rekaan, tetapi nyata berjalan di antara kita, di ruang kelas yang penuh mimpi anak-anak kecil. Mereka adalah pilar pendidikan yang tidak kokoh bukan karena lemah, tetapi karena terus-menerus dibiarkan retak oleh sistem yang katanya peduli.
Setiap pagi, Guru Honorer memulai hari dengan secangkir kopi murah dan selembar roti yang hampir basi, bukan karena kurang semangat, tetapi karena itu yang tersedia. Gaji jauh dari layak, apalagi UMR. Jika UMR itu awan, gaji Guru Honorer adalah pasir di dasar sungai—tersembunyi, nyaris tak terlihat.
Baca juga:
Struktur Ideal Sebuah Berita
|
Namun, jangan salah. Meski dompetnya tipis, beban di pundaknya jauh lebih tebal. Mengajar di pagi hari, membuat rencana pembelajaran di sore, dan sering kali, menjadi pengganti orang tua di mata murid-muridnya. Dia adalah guru, psikolog, sekaligus pelatih olahraga tanpa pernah diberi pelatihan resmi. Semua dilakukan demi satu tujuan sederhana, anak-anaknya, murid-murid yang memandang dengan mata berbinar, bisa punya masa depan lebih cerah.
Setelah pagi yang sibuk, tiba saatnya makan siang. Tapi tunggu dulu, di mana gajinya untuk membeli makan? Oh, ternyata makan siangnya gratis—diberikan oleh warung sebelah sekolah yang iba. Bukan karena Guru Honorer meminta, tetapi karena semua orang tahu, profesi ini lebih sering memberi daripada menerima.
Sorotan mata Guru Honorer saat menerima makan siang itu penuh rasa malu. Namun, dia juga tahu, jika tidak diterima, perut kosongnya akan menjadi pengkhianat saat berdiri di depan kelas. Begitu makan siang selesai, pekerjaan kembali memanggil, mengoreksi tugas, mempersiapkan materi, dan memastikan setiap anak tertinggal tetap punya kesempatan untuk memahami pelajaran.
Ketika sore menjelang, Guru Honorer pulang dengan langkah berat. Sementara banyak orang bergelut dengan pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhan, Guru Honorer kerap tidak punya pilihan itu. Waktunya sudah habis untuk sekolah, dan energinya untuk dunia.
Gratis, Bukan Gratis yang Sama Sarapan, makan siang, dan makan malam yang “gratis” ini sebenarnya mahal. Mereka membayar dengan harga yang tak terlihat, harga diri yang sering terlupakan, tenaga yang tak terbayar, dan mimpi yang harus dikorbankan. Negara bisa tidur nyenyak, tahu bahwa ada seseorang di sudut kelas yang menjaga api pendidikan tetap menyala, meski lilin dalam dirinya hampir padam.
Maka, di mana penghargaan untuk Guru Honorer? Ketika kata “gratis” hanya menjadi simbol ironi yang menampar. Pendidikan tidak bisa maju jika mereka yang berada di garis depan terus dimiskinkan. Penghormatan tidak cukup dengan tepuk tangan atau piala berbentuk apel, tetapi dengan gaji yang layak dan kondisi kerja yang manusiawi.
Pada akhirnya, Guru Honorer adalah simbol harapan yang tidak pernah menyerah. Mereka mengajarkan kita tentang cinta tanpa syarat, dedikasi tanpa pamrih, dan keberanian untuk terus berdiri meski dunia seolah tak peduli. Semoga, suatu hari, mimpi Guru Honorer untuk hidup layak bukan lagi sekadar angan.
Jakarta, 25 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi